LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN
TEKNOLOGI PENGOLAHAN PENGERINGAN DAN
PENEPUNGAN
TEPUNG UBI JALAR
(Ipomea
batatas L)
Oleh
Nama : Ernalia Rosita
NRP :
133020175
LABORATORIUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2016
TUJUAN
PERCOBAAN
Tujuan
percobaan dari teknologi pengolahan pengeringan dan penepungan ini adalah untuk
menurunkan kadar air dalam bahan
pangan sampai batas tertentu sehingga meminimalkan serangan mikroba dan insekta
perusak dan menghasilkan bahan yang siap diolah lebih lanjut.
PRINSIP PERCOBAAN
Prinsip
percobaan dari teknologi pengolahan pengeringan dan penepungan ini adalah
berdasarkan perpindahan panas secara konduksi, konveksi serta berdasarkan pengurangan kadar air sampai batas
tertentu dan dilanjutkan dengan proses reduksi sampai berukuran 100 mesh
sehingga bahan berbentuk tepung.
DIAGRAM ALIR
Gambar 1.Diagram Alir Pembuatan Tepung dengan Metode Blanching
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung dengan Metode Perendaman
Air Biasa
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Tepung dengan Metode Perendaman
Na2S2O5
HASIL
PENGAMATAN
Tabel
1. Hasil Pengamatan Pembuatan Tepung dengan Metode Blanching
Keterangan
|
Hasil Pengamatan
|
|
Basis
|
150 gram
|
|
Bahan Utama
|
Ubi jalar 49,9 gram
|
|
Bahan Tambahan
|
-
|
|
Berat Produk
|
10,3 gr
|
|
%Produk
|
20,6 %
|
|
Organoleptik
1. Warna
2. Rasa
3. Aroma
4. Tekstur
5. Kenampakan
|
Halus
|
Kasar
|
Kuning kecoklatan pucat
|
Kuning
kecoklatan
|
|
Agak
manis
|
Agak
manis
|
|
Khas
ubi jalar
|
Khas
ubi jalar
|
|
Halus
|
Halus
|
|
Kurang
menarik
|
Kurang
menarik
|
Tabel
2. Hasil Pengamatan Pembuatan Tepung
dengan Metode Perendaman dengan Air Biasa
Keterangan
|
Hasil Pengamatan
|
|
Basis
|
150 gram
|
|
Bahan Utama
|
Ubi jalar 50,1 gram
|
|
Bahan Tambahan
|
Air
|
|
Berat Produk
|
10,65 gr
|
|
% Produk
|
21,14 %
|
|
Organoleptik
1. Warna
2. Rasa
3. Aroma
4. Tekstur
5. Kenampakan
|
Halus
|
Kasar
|
Kuning pucat
|
Kuning kecoklatan pucat
|
|
Agak
manis
|
Agak
manis
|
|
Khas
ubi jalar
|
Khas
ubi jalar
|
|
Halus
|
Kasar
|
|
Kurang
menarik
|
Tidak
menarik
|
Tabel
3. Hasil Pengamatan Pembuatan Tepung
dengan Metode Perendaman dengan Na2S2O5
Keterangan
|
Hasil Pengamatan
|
|
Basis
|
150 gram
|
|
Bahan Utama
|
Ubi jalar 49,9 gram
|
|
Bahan Tambahan
|
Na2S2O5
500 ppm = 0,175 gram
|
|
Berat Produk
|
10,65 gr
|
|
% Produk
|
21,14 %
|
|
Organoleptik
1. Warna
2. Rasa
3. Aroma
4. Tekstur
5. Kenampakan
|
Halus
|
Kasar
|
Kuning agak kecoklatan pucat
|
Kuning kecoklatan
|
|
Kurang
manis
|
Kurang
manis
|
|
Khas
ubi jalar
|
Khas
ubi jalar
|
|
Halus
|
Halus
|
|
Agak
menarik
|
Tidak
menarik
|
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan dengan
metode blanching dapat diketahui berat tepung ubi jalar adalah sebesar 10,3
gram , % produk sebesar 20,6 %, lost produk
sebesar 0,4 gram, dan % lost produk sebesar 3,74%.
Berdasarkan hasil percobaan dengan metode perendaman air biasa didapatkan berat
produk sebesar 10,65 gram, % produk sebesar 21,14%, lost produk sebesar 2,15
gr, dan % lost produk sebesar 16,8%.
Berdasarkan
hasil percobaan dengan metode perendaman menggunakan Na2S2O5
didapatkan hasil berat produk sebesar 9,6 gram, % produkk sebesar 19,2%,
lost produk sebesar 0,3 gram dan % lost produk sebesar 3,03%.
Ubi jalar melewati beberapa proses
sebelum menjadi tepung. Yang pertama ubi disortasi untuk dipilih bahan yang
memilki bentuk yang seragam dan layak untuk diproses selanjutnya serta
pembuangan kotoran dan benda asing yang ada dalam ubi. Setelah disortasi umbi
ditimbang kira-kira 180 gram. Proses selanjutnya adalah trimming yang berguna
untuk memisahkan bagian yang tidak diinginkan contohnya kulit. Umbi yang telah
ditrimming selanjutnya dicuci bersih sehingga tidak ada lagi kotoran yang
menempel pada umbi. Proses selanjutnya adalah penimbangan untuk menimbang umbi
yang akan diolah yaitu sebesar 150 gram. Umbi yang telah ditimbang kemudian
direduksi ukurannya dan dibagi menjadi 3 bagian yang sama beratnya yaitu
sekitar 50 gram dan dilakukan pemarutan untuk mereduksi ukuran bahan sehingga
lebih mudah dikeringkan. Setelah ditimbang kemudian dilakukan peredaman Na2S2O5
selama 15 menit, perendaman dengan air biasa selama 5menit dan dengan blanching
selama 3 – 5 menit. Khusus ubi jalar, proses blanching dilakukan selama 5 menit
untuk melunakkan jaringan, menghilangkan bau langu, mengerluarkan warna alami
dan menginaktivasi enzim. Setelah ubi diblanching atau direndam proses
selanjutnya adalah pencucian hingga bersih dan tidak terasa licin. Setelah
dicuci, umbi selanjutnya disusun di tray dan dilakukan pengeringan selama 5-6
jam pada suhu 70°C fungsinya untuk mengeringkan bahan sehingga dapat dengan
mudah untuk ditepungkan. Bahan yang telah dilakukan pengeringan selanjutnya digiling
sampai halus dan diayak sehingga terpisahkan antara tepung halus dan yang
kasar. Tepung yang didapatkan kemudian ditimbang untuk mengetahui berat tepung
tersebut dan dilakukan pengamatan.
Bahan yang digunakan dalam percobaan
penepungan ini adalah Na2S2O5 berfungsi
sebagai pemucat, agar mencegah terjadinya reaksi pencoklatan pada ubi jalar saat penepungan serta
memucatkan warna agar tepung yang dihasilkan lebih terang sehingga memiliki
daya tarik yang cukup tinggi.
Natrium metabisulfit atau natrium pyrosulfit (Sodium
metabisulfit) merupakan senyawa anorganik yang mempunyai rumus kimia Na2S2O5 dan digunakan sebagai bahan pengawet.
Natrium metabisufit juga disebut sebagai dinatrium atau
metabisulfit. Senyawa ini memiliki penampakan kristal atau bubuk dan
memiliki berat molekul 190,12 (Septiyani, 2012).
Sifat natrium metabisulfit terhadap produk ubi jalar
adalah sebagai pengawet adalah asam
sulfit yang tidak terdisosiasi dan biasanya terbentuk pada tingkat keasaman (pH) < 3. Dalam proses pengolahan
bahan pangan, natrium metabisulfit ditambahkan pada bahan pangan untuk mencegah
proses pencoklatan (browning) yang enzimatis pada buah sebelum diolah,
menghilangkan bau dan rasa getir pada ubi kayu, selain itu untuk mempertahankan
warna agar tetap menarik, dimana ubi kayu merupakan bahan pangan yang
mengandung karbohidat yang secara alami dapat mengalami reaksi browning karena
aktifitas enzim polyphenolase dan oksidasi yang dapat merubah polyphenol
menjadi diatan polykarbonil (Septiyani, 2012).
Pengeringan adalah proses
pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah yang relatif kecil dari bahan
dengan menggunakan enersi panas. Hasil dari proses pengeringan adalah bahan
kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar air keseimbangan udara (atmosfir)
normal atau setara dengan nilai aktivitas air (aw) yang aman dari kerusakan
mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi (Rahmah, 2013).
Pengeringan
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor - faktor yang mempengaruhi pengeringan
diantaranya adalah:
1. Luas
Permukaan
Makin luas permukaan bahan
maka makin cepat bahan menjadi kering Air menguap melalui permukaan
bahan, sedangkan air yang ada di bagian tengah akan merembes ke bagian
permukaan dan kemudian menguap. Untuk mempercepat pengeringan umumnya bahan pangan
yang akan dikeringkan dipotong-potong atau di iris-iris terlebih dulu. Hal ini
terjadi karena:
(1)
pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas permukaan bahan dan
permukaan yang luas dapat berhubungan dengan medium pemanasan sehingga air mudah
keluar,
(2)
potongan-potongan kecil atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana panas
harus bergerak sampai ke pusat bahan pangan. Potongan kecil juga akan
mengurangi jarak melalui massa air dari pusat bahan yang harus keluar ke
permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan tersebut (Supriyono, 2003).
2. Perbedaan
Suhu dan Udara Sekitarnya
Semakin besar perbedaan suhu antara
medium pemanas dengan bahan pangan makin cepat pemindahan panas ke dalam bahan
dan makin cepat pula penghilangan air dari bahan. Air yang keluar dari bahan
yang dikeringkan akan menjenuhkan udara sehingga kemampuannya untuk
menyingkirkan air berkurang. Jadi dengan semakin tinggi suhu pengeringan maka
proses pengeringan akan semakin cepat. Akan tetapi bila tidak sesuai dengan bahan
yang dikeringkan, akibatnya akan terjadi suatu peristiwa yang disebut
"Case Hardening", yaitu suatu keadaan dimana bagian luar bahan sudah
kering sedangkan bagian dalamnya masih basah (Supriyono, 2003).
3. Kecepatan
Aliran Udara
Makin tinggi kecepatan udara, makin
banyak penghilangan uap air dari permukaan bahan sehinngga dapat mencegah
terjadinya udara jenuh di permukaan bahan. Udara yang bergerak dan mempunyai
gerakan yang tinggi selain dapat mengambil uap air juga akan menghilangkan uap
air tersebut dari permukaan bahan pangan, sehingga akan mencegah terjadinya
atmosfir jenuh yang akan memperlambat penghilangan air. Apabila aliran udara
disekitar tempat pengeringan berjalan dengan baik, proses pengeringan akan
semakin cepat, yaitu semakin mudah dan semakin cepat uap air terbawa dan
teruapkan (Supriyono, 2003).
4. Tekanan Udara
Semakin kecil tekanan udara akan
semakin besar kemampuan udara untuk mengangkut air selama pengeringan, karena
dengan semakin kecilnya tekanan berarti kerapatan udara makin berkurang
sehingga uap air dapat lebih banyak tetampung dan disingkirkan dari bahan
pangan. Sebaliknya jika tekanan udara semakin besar maka udara disekitar
pengeringan akan lembab, sehingga kemampuan menampung uap air terbatas dan menghambat
proses atau laju pengeringan (Supriyono, 2003).
5.
Kelembapan Udara
Makin lembab udara maka Makin lama
kering sedangkan Makin kering udara maka makin cepat pengeringan. Karena udara
kering dapat mengabsobsi dan menahan uap air Setiap bahan mempunyai keseimbangan
kelembaban nisbi masing-masing. kelembaban pada suhu tertentu dimana bahan
tidak akan kehilangan air (pindah) ke atmosfir atau tidak akan mengambil uap
air dari atmosfir (Supriyono, 2003).
Blanching merupakan salah satu unit pemrosesan bahan pangan, dimana zat
makanan, biasanya sayur atau buah, dimasukkan ke dalam air mendidih dalam waktu
yang singkat dan kemudian dimasukkan ke dalam air es atau ditempatkan dalam
mengalir air yang dingin secara tiba-tiba, untuk menghentikan proses pemasakan.
Pada blanching, biasanya pemrosesan dilakukan pada temperatur 75-95oC selama 1-10 menit, tergantung produk yang diproses
dan hasil yang diinginkan (Fahreza, 2012).
Faktor-faktor
yang mempengaruhi blanching:
1. Jenis
bahan
2. Ukuran
bahan: semakin kecil ukuran, proses blanching semakin cepat dan
kerusakan nutrisi sepat pula.
3. Suhu blanching:
semakin tinggi suhu, tingkat kerusakan semakin besar
4. Metode blanching:
dapat dengan uap atau air (Damayanti, 2012).
Tepung adalah bahan pangan yang direduksi ukurannya dengan
cara digiling sehingga memiliki ukuran antara 150-300 mikron. Bahan pangan yang
berbentuk tepung memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan bahan asalnya,
yaitu lebih mudah dikemas, mudah dicampur, dan menghemat pemakaian energi untuk
memasaknya (Buckle, et al. 1997).
Pengeringan
dapat mempengaruhi sifat fisik, sifat kimia dan sensori bahan. Makanan yang
dikeringkan mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan
segarnya. Selama pengeringan terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dan
lain-lain. Perubahan tersebut dapat diminimalisasi dengan memberikan perlakuan
pendahuluan terhadap bahan pangan yang akan dikeringkan, misalnya dengan
pencelupan dalamlarutan bisulfat. Pengeringan akan mengurangi kadar air dalam
bahan pangan sehinggakandungan senyawa-senyawa seperti protein karbohidrat,
lemak, dan mineral berada dalam konsentrasi yang lebih tinggi, akan tetapi
vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang. Warna
bahan pangan yang dikeringkan pada umumnya berubah menjadi coklat. Perubahan
tersebut disebabkan oleh reaksi browning non enzimatik yakni reaksi
antara asam organik dengan gula pereduksi dan antara asam-asam amino dengan
gula pereduksi. Reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan
nilai gizi protein (Cahayu, 2011).
Dalam proses pengeringan dapat menyebabkan
terjadinya case hardening yaitu suatu keadaan di mana permukaan luar
bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Case
hardening dapat disebabkan oleh:
1. Suhu
pengeringan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan bagian permukaan cepat
mengering dan mengeras sehingga menghambatpenguapan air yang masih berada dalam
bahan;
2. Perubahan-perubahan kimia tertentu,
misalnya terjadinya penggumpalan protein pada permukaan bahan karena adanya panas
atau terbentuknya dekstrin dari pati yang jika dikeringkan akan menjadi bahan
yang masif (keras) pada permukaan bahan. Case hardening selain
menyebabkan pengeringan berjalan lambat, juga dapat menyebabkan kebusukan karena
mikroba yang masih ada di bagian dalam bahan dapat berkembang biak. Selain itu,
jika bahan akan direhidrasi diperlukan waktu yang lebih lama. Cara membutuhkan
waktu penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan selanjutnya terjadi pembusukan
(Cahayu, 2011).
Mekanisme
pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan pindah massa
yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus di transfer dari
medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan air, uap air
yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium sekitarnya.
Proses ini akan menyangkut aliran fluida di mana cairan harus di transfer
melalui struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi panas harus
di sediakan untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui berbagai macam
tahanan agar supaya dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air yang bebas
(Tindaon, 2013).
Indeks Glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan gula darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau
secara sederhana dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut
efeknya terhadap kadar glukosa darah (Wikipedia, 2016).
Tepung ubi jalar mempunyai indeks
glikemik yang relatif rendah. Keunggulan dari ubi jalar adalah adalah mempunyai
indek glikemik yang relatif rendah dibandingkan dengan beras. Indek glikemik
rendah berfungsi untuk mengendalikan kadar gula darah sehingga dapat
membantu mencegah penyaki diabete mellitus. Disamping itu ubi jalar juga memiliki
kadar serat pangan yang tinggi sehingga direkomendasikan sebagai makanan diet.
Berdasarkan SNI Tepung Ubi Jalar diketahui
bahwa keadaan tepung ubi jalar dalam bentuk serbuk dan tidak mempunyai bau,
tidak ada benda asing dan memiliki kehalusan lolos ayakan 212
mikron (mesh No. 70) (b/b) sebanyak minimal 95%. Dari hasil percobaan, tepung
ubi jalar baik dengan metode blanching, perendaman dengan air biasa maupun
perendaman dengan larutan natrium metabisulfit dilakukan dengan pengayakan pada
mesh 100 dengan kehalusan lolos ayakan sebanyak ±85%.
Perbedaan hasil tersebut disebabkan oleh bedanya mesh pengayak atau penghalusan
bahan yang kurang merata.
Berdasarkan hasil pengamatan dari pembandingan
3 produk tepung baik dengan metode blanching, perendaman air biasa, dan
perendaman dengan natrium metabisulfit memilki hasil yang berbeda-beda. Hasil
yang terbaik adalah dengan perendaman menggunakan natrium metabisulfit
sedangkan untuk kehalusan yang paling halus adalah tepung yang direndam dengan
air biasa. Tepung hasil rendaman dengan air biasa memiliki tekstur yang lebih
halus karena tepung tersebut diayak menggunakan mesin vibratory screen
sedangkan 2 produk lainnya hanya diayak denga ayakan biasa. Sifat sensorik yang
dimiliki tepung dengan perendaman natrium metabisulfit memiliki warna yang
lebih putih bila dibandingkan dengan hasil penepungan lainnya.
Critical Control Point (CCP) adalah langkah-langkah
dalam penyusunan makanan yang harus dikendalikan untuk menghilangkan atau
mengurangi bahaya pada tingkat yang memadai. Titik Pengendalian Kritis (Critical Control Point, CCP):
suatu titik, tahap, atau prosedur
dimana bahaya yang berhubungan dengan pangan dapat dicegah, dieliminasi, atau
dikurangi hingga ke titik yang dapat diterima (diperbolehkan atau titik aman).
Terdapat dua titik pengendalian kritis yaitu Titik Pengendalian Kritis 1
sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan, dan Titik Pengendalian Kritis 2
dimana bahaya dapat dikurangi (Amaliya, 2012).
Pada proses pembuatan
tepung ubi jalar terdapat hal yang perlu diperhatikan yaitu bahaya yang dapat
muncul pada proses dan membuat mutu dari produk tersebut menjadi kurang baik.
Hal tersebut disebut CCP (Critical
Control Point), dimana bahaya yang muncul saat proses dimana perlu ada
pengendalian agar produk yang dihasilkan
sesuai dan tidak gagal. CCP pada pencucian merupakan proses yang penting
jika tidak dilakukan pencucian maka kotoran akan tertinggal dan menyebabkan
hasil tepung tidak higienis, proses ini merupakan CCP 1 karena bahaya dapat
dihilangkan. CCP pada pengeringan adalah dengan menggunakan suhu tinggi, agar
proses pengeringan berjalan dengan cepat, karena semakin tinggi suhu udara maka
proses pengeringan akan semakin cepat. CCP pada perendaman dengan Na2S2O5
dilakukan tidak terlalu lama, karena harus sesuai dengan prosedur hal itu
disebabkan karena dapat memperpucat warna bahan sehingga terlihat tidak
menarik. Pada proses penggilingan, suhu
ubi jalar yang digiling harus dingin, ini dilakukan karena jika dalam keadaan
panas maka tepung yang dihasilkan akan
menggumpal sehingga menghambat proses pengolahan. Oleh karena itu,
setelah dikeringkan ubi jalar ditiriskan terlebih dahulu.
0 komentar:
Posting Komentar