LAPORAN
PRAKTIKUM BIOKIMIA
PANGAN
ENZIM II
UJI PENGARUH SUHU
Diajukan Untuk Memenuhi
Persyaratan
Praktikum Biokimia Pangan
Oleh :
Nama
|
: Ernalia Rosita
|
NRP
|
: 133020175
|
Kel/Meja
|
: G/5
|
Asisten
|
: Rini Nurcahyawati S.
|
Tgl Percobaan
|
: 06 April 2015
|
Tgl
Pengumpulan
|
: 10
April 2015
|
LABORATORIUM BIOKIMIA PANGAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2015
I PENDAHULUAN
Bab
ini akan
membahas mengenai: (1) Latar Belakang Percobaan, (2) Tujuan Percobaan, (3) Prinsip Percobaan, dan (4) Reaksi Percobaan.
1.1 Latar Belakang
Enzim
merupakan suatu substansi yang dihasilkan oleh sel makhluk hidup dan mempunyai
fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia yang secara kolektif
membentuk metabolisme perantara dari sel
(deMann, 1989).
Fungsi
suatu enzim ialah sebagai katalis untuk proses biokimia yang terjadi dalam sel
maupun di luar sel. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 108 sampai
1011 kali lebih cepat daripada apabila reaksi tersebut dilakukan
tanpa katalis. Jadi enzim dapat berfungsi sebagai katalis yang sangat efisien,
disamping itu mempunyai derajat kekhasan yang tinggi (Poedjiadi, 1994).
Tiap enzim mempunyai suhu optimum tertentu. Pada
umumnya enzim yang terdapat pada hewan mempunyai suhu optimum antara 40oC-50oC,
sedangkan pada tumbuhan antara 50oC-60oC. Sebagian besar
enzim terdenaturasi pada suhu di atas 60oC. (Poedjiadi,
1994).
1.2 Tujuan Percobaan
Untuk
mengetahui pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi.
1.3 Prinsip Percobaan
Berdasarkan pada semakin tinggi suhu sampai
batas optimum maka aktivitas enzim semakin tinggi akan tetapi apabila melewati
batas optimum aktivitas enzim menurun.
II
METODE PERCOBAAN
Bab ini akan menguraikan mengenai:
(1) Bahan yang Digunakan, (2) Pereaksi yang Digunakan, (3) Alat yang Digunakan,
dan (4) Metode Percobaan.
2.1. Bahan yang Digunakan
Bahan yang digunakan adalah urea,
katekol, indikator PP, ekstrak apel dan ekstrak kedelai.
2.2. Pereaksi yang Digunakan
Pereaksi yang digunakan adalah urea,
katekol, dan indikator PP.
2.3. Alat yang Digunakan
Alat yang digunakan adalah tabung
reaksi, penangas air, freezer, dan
pipet tetes.
III
HASIL PENGAMATAN
Bab ini akan menguraikan mengenai:
(1) Hasil Pengamatan, dan (2) Pembahasan.
3.1. Hasil Pengamatan
Tabel
1. Hasil Pengamatan Uji Pengaruh Suhu
Suhu
|
Ekstrak
|
Substrat
|
Warna
|
Hasil
I
|
Hasil
II
|
0⁰C
|
Apel
|
Katekol
|
Coklat pekat
|
++
|
++
|
37⁰C
|
Coklat pekat
|
+++
|
+++
|
||
70⁰C
|
Coklat muda
|
+
|
+
|
||
0⁰C
|
Kedelai
|
Urea
|
Pink pekat
|
++
|
++
|
37⁰C
|
Pink pekat
|
+++
|
+++
|
||
70⁰C
|
Pink muda
|
+
|
+
|
Sumber:
Hasil I
: Ernalia dan Luviana, Kel. G, Meja 5, 2015.
Hasil II : Laboratorium Biokimia
Pangan, 2015.
Keterangan :
( +++ ) Enzim
aktif bekerja
( ++ ) Enzim
kurang aktif bekerja
( + ) Enzim
tidak aktif bekerja
3.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan,
dapat diketahui bahwa pada ekstrak apel dengan substrat katekol mempunyai suhu
optimum pada suhu 37⁰C sehingga enzim bekerja aktif. Sedangkan dengan suhu 0⁰C
enzim kurang aktif bekerja dan pada suhu 70⁰C enzim tidak bekerja. Kemudian,
ekstrak kedelai dengan substrat urea mempunyai suhu optimum pada suhu 37⁰C
sehingga enzim bekerja aktif. Sedangkan dengan suhu 0⁰C enzim kurang aktif
bekerja dan pada suhu 70⁰C enzim tidak bekerja. Hasil pengamatan yang didapat
oleh praktikan sama dengan hasil yang dilakukan oleh laboran Laboratorium
Biokimia Pangan Universitas Pasundan Bandung.
Enzim
merupakan suatu substansi yang dihasilkan oleh sel makhluk hidup dan mempunyai
fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia yang secara kolektif
membentuk metabolisme perantara dari sel
(deMann, 1989).
Fungsi suatu enzim adalah sebagai katalis
untuk proses biokimia yang terjadi dalam sel maupun diluar sel. Suatu enzim
dapat mempercepat reaksi 108 sam pai 1011 kali lebih
cepat daripada apabila reaksi tersebut dilakukan tanpa katalis. Jadi enzim
dapat berfungsi sebagai katalis yang sangat efisien, disamping itu mempunyai
derajat kekhasan yang tinggi. Seperti
juga katalis lainnya, maka enzim dapat menurunkan energi aktifasi suatu reaksi
kimia. Reaksi kimia ada yang membutuhkan
energi (reaksi enderginik) dan ada pula yang menghasilkan energi atau mengeluarkan
energi (eksergonik) (Poedjiadi, 1994).
Tiap enzim mempunyai suhu optimum tertentu. Pada umumnya enzim yang
terdapat pada hewan mempunyai suhu optimum antara 40oC-50oC,
sedangkan pada tumbuhan antara 50oC-60oC. Sebagian besar
enzim terdenaturasi pada suhu di atas 60oC. Oleh karena reaksi kimia
itu dapat dipengaruhi oleh suhu, maka reaksi yang menggunakan katalis enzim
yang dapat dipengaruhi oleh suhu. Pada suhu rendah reaksi kimia berlangsung
lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat.
Karena enzim itu adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan
terjadinya proses denaturasi. Apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian
aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim
menjadi berkurang dan kecepatan reaksinya puan akan menurun. Kenaikan suhu
sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan kecepatan reaksi.
Koefisien suhu suatu reaksi diartikan sebagai kenaikan kecepatan reaksi sebagai
akibat kenaikan suhu 10oC. Koefisien suhu ini diberi simbol Q10.
Untuk reaksi yang menggunakan enzim, Q10 ini berkisar antara 1,1 hingga 3,0
artinya setiap kenaikan suhu 10oC, kecepatan reaksi mengalami
kenaikan 1,1 hingga 3,0 kali. Namun kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya
proses denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi. Oleh karena ada dua
pengaruh yang berlawanan, maka akan terjadi suatu titik optimum, yaitu suhu
yang paling tepat bagi suatu reaksi yang menggunakan enzim tertentu (Poedjiadi,
1994).
Pada umumnya semakin tinggi suhu, semakin naik laju reaksi kimia, baik
yang tidak dikatalis maupun yang dikatalis enzim. Tetapi perlu diingat bahwa
enzim adalah protein; jadi semakin tinggi suhu proses inaktifasi enzim juga
meningkat. Keduanya mempengaruhi laju reaksi enzimatik secara keseluruhan
(Winarno, 1992).
Disamping itu, karena enzim itu adalah suatu protein, maka kenaikan suhu
dapat menyebabkan terjadinya denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu
dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim akan menjadi berkurang dan
kecepatan reaksinya pun akan menurun (Poedjiadi, 1994).
Pengaruh suhu terhadap enzim ternyata agak kompleks, misalnya suhu yang
terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau perusakan enzim; sebaliknya,
semakin tinggi suhu (dalam batas tertentu) semakin aktif enzim tersebut. Bila
suhu masih naik terus, laju kerusakan enzim akan melampaui reaksi katalisis
enzim (Winarno, 1992).
Enzim pada ekstrak pisang dan ekstrak kedelai mempunyai suhu optimal pada suhu kamar kemudian enzim ini
mengalami penurunan aktivitas pada suhu yang lebih tinggi. Karena enzim adalah
suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi.
Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan kecepatan
reaksi. Namun kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya denaturasi akan
mengurangi kecepatan reaksi (Poedjiadi, 1994).
Dalam percobaan digunakan
suhu yang berbeda-beda yaitu pada suhu 0⁰C, 37⁰C dan 70⁰C. Perbedaan suhu
tersebut berfungsi untuk menguji dan mencari suhu optimum dari enzim pada
sampel yang diuji. Umumnya beberapa enzim mempunyai suhu optimal pada suhu
kamar.
Beberapa enzim dapat terdenaturasi pada suhu pembekuan maupun proses
thawing. Banyak enzim menunjukan aktivitas yang nyata pada bahan setengah beku,
yaitu yang sebagian telah beku dan sebagian belum membeku (Winarno, 1992).
Selama proses pembekuan, pada bagian yang belum membeku masih terdapat
air. Di situlah terjadi pengumpulan dan pengentalan larutan-larutan, sehingga
konsentrasi elektrolit meningkat, juga pH berubah, sehingga mengakibatkan
terjadinya berbagai pengaruh buruk terhadap bahan makanan beku. Apakah itu
mengakibatkan peningkatan atau penurunan keaktifan enzim masih tergantung
banyak faktor. Pada umumnya peningkatan konsentrasi larutan dalam air yang
belum membeku dapat meningkatkan atau menurunkan keaktifan enzim (Winarno, 1992).
Beberapa enzim dapat dirusak apabila dibiarkan pada suhu rendah bukan
beku (chilling). Keadaan tersebut
dikenal dengan nama denaturasi dingin. Hal ini dialami oleh beberapa enzim,
misalnya laktosa, dehidrogenase (LDH), katalase, dan glutamat dehidrogenase (Winarno,
1992).
Suatu reaksi kimia dapat dipengaruhi suhu, maka reaksi yang menggunakan
katalis enzim dapat dipengaruhi suhu pula. Pada suhu rendah reaksi kimia
berlangsung lambat, sedangkan pada suhu tinggi reaksi berlangsung lebih cepat.
Disamping itu, karena enzim adalah protein maka kenaikan suhu dapat menyebabkan
terjadinya proses denaturasi. Apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian
aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim
menjadi berkurang dan kecepatan reaksinya pun akan menurun. Namun kenaikan suhu
pada saat mulai terjadinya proses denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi.
Oleh karena ada dua pengaruh yang berlawanan, maka akan terjadi suatu titik
optimum, yaitu suhu yang paling tepat
bagi suatu reaksi yang menggunakan enzim tertentu (Poedjiadi, 1994).
Faktor
kesalahan yang dapat terjadi pada saat melakukan percobaan adalah kurang
bersihnya alat sehingga reaksi enzim dengan substrat tidak terjadi, salah
mengamati perubahan warna yang terjadi dan tidak memasukkan indikator PP pada
substrat urea sehingga perubahan yang terjadi tidak dapat terlihat.
IV KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini akan menguraikan mengenai:
(1) Kesimpulan dan (2) Saran.
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan, dapat diketahui bahwa pada ekstrak apel dengan substrat katekol
mempunyai suhu optimum pada suhu 37⁰C sehingga enzim bekerja aktif. Sedangkan
dengan suhu 0⁰C enzim kurang aktif bekerja dan pada suhu 70⁰C enzim tidak
bekerja. Kemudian, ekstrak kedelai dengan substrat urea mempunyai suhu optimum
pada suhu 37⁰C sehingga enzim bekerja aktif. Sedangkan dengan suhu 0⁰C enzim
kurang aktif bekerja dan pada suhu 70⁰C enzim tidak bekerja. Hasil pengamatan
yang didapat oleh praktikan sama dengan hasil yang dilakukan oleh laboran
Laboratorium Biokimia Pangan Universitas Pasundan Bandung.
4.2. Saran
Saran yang dapat disampaikan oleh
penulis adalah sebaiknya praktikan lebih memahami metode percobaan dengan baik dan
lebih teliti saat mengamati terjadinya perubahan warna.
DAFTAR
PUSTAKA
deMann,
John M. 1989. Kimia Makanan.
Bandung: Insititut Teknologi Bandung.
Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
0 komentar:
Posting Komentar